Hukum-hukum seputar Shalat Istisqa’ (meminta hujan)
Oleh: Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Aalu Fauzan hafizhallahu ta’ala
Al-Istisqaa’ di sini artinya adalah meminta hujan dari Allah ‘Azza wa Jalla. Yang namanya jiwa mempunyai karakter untuk meminta kepada yang bisa menolongnya, yaitu Allah saja. Hal itu sudah dikenal semenjak umat-umat terdahulu, dan juga merupakan sunnah-sunnah para Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya.” (Al-Baqarah: 60)
Dan penutup para nabi yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam juga meminta hujan untuk umatnya berkali-kali, dengan cara yang bermacam-macam, dan kaum muslimin berijma’ tentang disyariatkannya.
• Al-Istisqaa’ disyariatkan ketika tanah gersang, tandus, tertahan hujan dan hal itu membahayakan mereka; maka tidak bisa dielakkan bagi mereka untuk tadharru’ (menundukkan diri) kepada Rabb mereka, meminta hujan dan pertolongan kepada-Nya dengan berbagai bentuk ketundukkan; terkadang dengan shalat berjamaah atau sendiri-sendiri, terkadang dengan berdoa pada waktu khutbah Jum’at, khatib berdoa dan kaum muslimin mengaminkan doanya, dan terkadang dengan berdoa setelah shalat-shalat dan pada waktu-waktu sendiri dengan tanpa shalat dan khutbah; semua itu waarid (ada riwayatnya) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam.
• Hukum shalat istisqaa’ adalah sunnah mu’akkadah; berdasar perkataan Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam keluar untuk meminta hujan, maka beliau menghadap kiblat berdoa dan merubah (posisi) pakaian luarnya, kemudian mengerjakan shalat dua rakaat dan mengeraskan bacaan pada kedua rakaat tersebut.” (Muttafaq ‘alaih) [1]
Dan hadits-hadits lainnya.
• Cara shalat istisqaa’ berkenaan dengan tempat dan hukum-hukumnya adalah seperti shalat ‘ied, maka disunnahkan untuk dikerjakan di mushalla (tanah lapang) sebagaimana shalat ‘ied. Dan hukum-hukumnya adalah seperti hukum-hukum shalat ‘ied pada bilangan rakaat, mengeraskan bacaan, shalat dikerjakan sebelum khutban dan pada takbir-takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua sebelum membaca, sebagaimana telah lewat penjelasannya pada shalat ‘ied. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam shalat dua rakaat sebagaimana shalat ‘ied.” (At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih,” dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan lainnya) [2]
• Pada rakaat pertama membaca surat: “Sabbihisma rabbikal a’laa..” (Al-A’laa) dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ghaasyiyah.
• Shalat dikerjakan oleh penduduk suatu negeri di tanah lapang; karena beliau shallallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengerjakan shalat istisqaa’ kecuali di tanah lapang, karena hal itu lebih bersungguh-sungguh dalam menampakkan rasa butuhnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
• Apabila imam ingin keluar untuk melaksanakan shalat istisqaa’, maka hendaknya dia mendahului dengan memberi peringatan kepada manusia dengan perkara yang bisa melembutkan hati mereka, seperti menyebutkan pahala Allah dan siksaan-Nya, memerintahkan mereka untuk bertaubat dari perbuatan-perbuatan maksiat, keluar dari perbuatan-perbuatan zhalim; dengan mengembalikannya kepada orang-orang yang berhak; karena perbuatan maksiat adalah salah satu sebab tertahannya hujan dan terputusnya berkah-berkah, dan taubat serta istighfar adalah sebab dikabulkannya doa; Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raaf: 96)
Memerintahkan mereka untuk bershadaqah kepada orang-orang fakir dan orang-orang miskin; karena hal itu merupakan sebab (turunnya) rahmat, kemudian memberi ketentuan hari keluarnya mereka, supaya mereka bersiap-siap untuk menghadapi acara mulia ini dengan perkara yang sesuai dengannya menurut cara yang disunnahkan, kemudian mereka keluar pada waktu yang ditentukan ke mushalla dengan tawadhu’, merendahkan diri dan menampakkan rasa sangat butuh kepada Allah ‘Azza wa Jalla, berdasar perkataan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam keluar untuk melakukan shalat istisqaa’ dalam keadaan menghinakan diri, tawadhu’, khusyu’ dan tadharru’ (merendahkan diri).” (At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”) [3]
Hendaknya tidak ada seorang pun ketinggalan dari kaum muslimin yang bisa untuk keluar, sampai anak-anak dan wanita-wanita yang tidak dikhawatirkan menimbulkan fitnah dengan keluarnya mereka, maka imam shalat dengan mereka dua rakaat sebagaimana yang telah lewat, kemudian menyampaikan satu khutbah. Sebagian ulama berpendapat hendaknya ia menyampaikan dua khutbah.
Permasalahannya adalah luas, tetapi mencukupkan dengan satu khutbah adalah pendapat yang paling rajih (kuat) dari sisi dalil.
Kemudian keadaan khutbah setelah shalat istisqaa’ adalah amalan beliau shallallahu ‘alaihi wassalam yang paling banyak, dan terus seperti itu amalan kaum muslimin. Dan terdapat riwayat bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan khutbah sebelum shalat, sebagian ulama berpendapat demikian, dan pendapat yang pertama adalah lebih rajih, wallahu a’lam.
• Hendaknya dalam khutbah istisqaa’ memperbanyak istighfar dan membaca ayat-ayat yang berisi perintah untuk melakukannya; karena hal itu merupakan sebab turunnya hujan, serta memperbanyak doa dengan meminta hujan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Mengangkat kedua tangannya; karena Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam mengangkat kedua tangan ketika beliau berdoa untuk minta hujan, sehingga terlihat putihnya kedua ketiak beliau. [3]
Membaca shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, karena itu termasuk sebab dikabulkannya doa.
Berdoa dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pada tempat-tempat seperti ini; karena mencontoh beliau shallallahu ‘alaihi wassalam; Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
• Disunnahkan untuk menghadap kiblat di akhir doa dan merubah posisi pakaian luarnya, menjadikan yang di sebelah kanan di sebelah kiri dan yamg di sebelah kiri di sebelah kanan, begitu pula yang seperti pakaian luar, seperti ‘abaah (baju mantel) dan sejenisnya; berdasar riwayat dalam Ash-Shahihain:
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menghadapkan punggungnya kepada manusia, dan menghadap kiblat berdoa, kemudian merubah posisi baju luarnya…” [5]
Hikmah dari perbuatan tersebut -wallahu a’lam- adalah berharapan baik dengan berubahnya keadaan yang ada: dari kesulitan kepada kebahagiaan dan turunnya hujan. Manusia juga hendaknya merubah posisi selendang mereka; berdasar riwayat Al-Imam Ahmad,
“Dan manusia merubah posisi selendang mereka bersama beliau.” [6]
Sebab apa yang tsabit pada hak Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam, maka tsabit pula pada hak umatnya, selagi tidak ada dalil yang menunjukkan atas kekhususan amalan tersebut untuk beliau.
Kemudian jika Allah memberikan hujan kepada kaum muslimin, jika tidak, maka mereka hendaknya mengulang shalat istisqaa’ dua dan tiga kali; karena kebutuhan menuntut hal yang demikian.
• Apabila hujan turun, disunnahkan untuk berdiri di awal hujan agar hujan mengenainya [7] dan berdoa:
ALLAHUMMA SHOYYIBAN NAAFI’AN
“Ya Allah, jadikanlah ia hujan yang bermanfaat.” [8]
Dan membaca:
MUTHIRNAA BI FADHLILLAHI WA RAHMATIHI
“Kami diberi hujan dengan karunia Allah dan rahmat-Nya.” [9]
• Apabila air berlebih dan dikhawatirkan menimbulkan bahaya, disunnahkan baginya untuk berdoa:
ALLAHUMMA HAWAALAINA WA LAA ‘ALAINA, ALLAHUMMA ‘ALAZH-ZHIRAABI WAL AKAAMI WA BUTHUUNIL AWDIYATI WA MANAABITISY SYAJAR.
“Ya Allah, jadikanlah hujan di sekitar kami jangan di atas kami, Ya Allah, jadikanlah hujan di anak-anak bukit, bukit-bukit, dasar-dasar lembah dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan.”
Karena beliau shallallahu ‘alaihi wassalam membaca doa tersebut. (Muttafaq ‘alaih [10]) Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
[1] Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari (1024) [2/663] ini adalah lafazhnya; dan Muslim (2067) [3/427].
[2] Dikeluarkan oleh Abu Dawud (1165) [1/480] As-Shalat 258; At-Tirmidzi (558) [2/445], An-Nasa’i (1505) [2/173], di dalamnya tidak ada lafazh, “Sebagaimana shalat ‘ied.”, dan Ibnu Majah (1266) [2/94]. Riwayat tersebut terdapat pada Mustadrak Al-Haakim (1220) [1/466] Al-Istisqaa’. [3] Ini adalah awal hadits Ibnu ‘Abbas yang telah lewat.
[4] Muttafaq ‘alaih dari hadits Anas: Al-Bukhari (1031) [2/667] Al-Istisqaa’ 22, dan Muslim (2074) [3/430]. [5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (1025); dan Muslim (894).
[6] Dikeluarkan oleh Ahmad dari hadits ‘Abdullah bin Zaid ‘Ashim (16417) [4/14], di dalamnya terdapat riwayat,
“Beliau menghadap ke kiblat dan merubah pakaian luarnya maka membaliknya, bagian luar untuk bagian dalam, dan manusia juga ikut merubahnya bersama beliau.” [7] Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Anas (2080) [3/435]. [8] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari hadits ‘Aisyah (1032) [2/668].
[9] Muttafaq ‘alaih dari hadits Zaid bin Khalid al-Juhaniy: Al-Bukhari (810) [2/673]; dan Muslim (228) [1/247]. [10] Muttafaq ‘alaih dari hadits Anas, dan telah lewat.
Sumber: Ringkasan Fiqh Islami karya Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Aalu Fauzan hafizhallahu ta’ala (penerjemah: Abu Nizar Arif Mufid MF.), penerbit: Pustaka Salafiyah, cet. I th. 1421 H/2001 M, hal. 389-394.
0 komentar:
Posting Komentar